“Kalo besok mau pesen becak saya, SMS aja mbak, coba miskol nomer saya ” Cukup tergelak juga kalau denger kalimat itu bukan? Reservasi becak lewat SMS !!
Sementara itu di waktu yang lain dan di tempat yang lain :
“sejak ada henpon saya kok nggak pernah lagi menerima kartu lebaran…”
Kalo kalimat pertama di atas muncul dari pak becak yg saya tumpangi waktu di Yogya, kalimat kedua muncul dari family jauh yang saya temui kmaren. Ceritanya sabtu kmaren, saya & momy menemani sepupu dari Palembang (sebut saja Mas Adi) yang kebetulan sedang dinas ke Sby untuk silaturahmi ke bbrp keluarga di Surabaya. Seperti lazimnya adat keluarga besar, dimanapun kami selalu mengusahakan waktu untuk saling bertemu dan berbagi kabar. Meskipun kadang waktu yang tersedia tidaklah cukup untuk meringkas cerita yang selama rentang kehidupan terjadi, namun yang penting bagi kami adalah bahwa kualitas tali persaudaraan tidak menjadi hilang. Tidak kepaten obor begitu menurut istilah orang Jawa agar kita tetap bisa selalu menjaga ikatan darah dan tali persaudaraan.
So, Sabtu siang itu kami meluncur di satu kawasan Surabaya Selatan untuk mencari salah seorang family yang sudah sekitar 20-an tahun tidak pernah ditemui Mas Adi. Secara silsilah keluarga yang akan kita cari ini adalah sepupu dari pihak ibu Mas Adi. Dengan yakin Mas Adi menyebutkan satu alamat lengkap dengan gang dan nomernya. Tidak terlalu lama kami akhirnya menemukan rumah yang dicari dan ternyata yang tinggal disitu adalah sepasang suami istri yang telah memasuki usia senja.
Agak perlu waktu beberapa saat bagi Eyang Putri untuk icebreaking dan mengenali mas Adi yang jelas sudah sangat berubah dengan yang ditemui Eyang itu 20 thn yang lalu. Tidak lama setelah menggunakan bbrp keywords yang membantu untuk me-retrieve kembali ingatan si Eyang, akhirnya…..”woalahh....kamu putranya Dik Ayin(nama ibu mas Adi) tho….” dengan airmata haru si Eyang langsung memeluk mas Adi dan mempersilahkan kami masuk.
Tak lama obrolan dan saling menanyakan kabar si ini, si itu, si anu dimana, anaknya berapa dan topik2 yang lumrah diobrolkan saat-saat reuni keluarga seperti itu mulai bergulir. Kaget juga saya mendengar cerita si Eyang Putri kalo dia telah berusia 80 tahun !! Karena yang nampak di depan kami saat itu, secara fisik si Eyang ini kami kira ada di kisaran usia 60-70an tahun, masih nampak kuat dan cekatan . Tidak lama muncullah Eyang Kakung yang juga sepuh berusia 90 tahun, dan masih sehat! Ya meskipun fungsi pendengaran di usia itu tentunya sudah berkurang, namun beliau masih sanggup untuk berjalan pagi dan bisa merawat rumah hanya berdua dengan sang istri. Luar biasa !
Setelah ngobrol punya ngobrol dan saling tukar cerita apa saja yang telah terjadi selama rentang waktu kehidupan yang dulu pernah ada, iseng si Eyang Putri nanya ke Mas Adi, “lho kamu kok masih ingat rumah disini” . Mas Adi menjawab bahwa dia hafal alamat rumah ini karena dulu dia selalu rutin kirim kartu lebaran.
“Saya sekarang sudah jarang menerima surat. Saya masih suka menunggu surat diselipkan di bawah pintu sama pak pos…apa sekarang ini kantor pos sudah tutup tho nak”….begitu timpal Eyang putri selanjutnya. Walaupun kami yakin si Eyang tidak bermaksud untuk menyinggung Mas Adi yang akhirnya putus kontak lewat kartu lebaran itu (krn fungsi kartu yang telah tergantikan dengan SMS yang lebih instan itu), namun kami merasakan ada sesuatu “yang hilang” yang dirasakan Eyang putri tadi.
Ternyata tanpa kami sadari, makna sepucuk kartu lebaran sangat lah besar bagi si Eyang. Mungkin dengan adanya sepucuk kartu lebaran/surat pribadi yang dia terima adalah menjadi semacam tanda pengakuan bahwa beliau “ada”. Entah mengapa, rasanya tidak tepat dan aneh rasanya untuk berandai-andai misalkan si Eyang Putri itu yang sudah sepuh bisa menggunakan henpon dan akhirnya tidak akan kehilangan kontak dengan mas Adi lewat SMS-nya.
Tetapi di saat yang lain, coba bandingkan saja cerita Eyang Putri dengan pak becak di Yogya tadi. Rupanya pemakaian henpon sudah melulu hanya oleh golongan menengah ke atas. Maraknya berbagai macam model HP low end, jadi sangat memungkinkan seorang tukang becakpun ber-HP ria...ajegilee !!! “Terus terang ini juga saya mau cari langganan mbak…SMS saya aja besok”...begitu kata Pak Yanto tukang becak yang kami tumpangi. Dia telah sadar akan kebutuhan untuk bisa membangun relasi dengan wisatawan di Yogya. Ditambah dengan kemampuannya utk menjelaskan tempat-tempat wisata mana saja yang bisa dikunjungi dengan menumpang becaknya, secara gak langsung dia telah memadukan skill marketing-nya dan dia sadar betul untuk memanfaatkan teknologi SMS yang ada. Salut saya buat Pak Yanto !!
Saya jadi terhenyak sesaat apakah artinya semua itu? Ternyata, meskipun teknologi komunikasi yang ada di satu sisi membuat kebutuhan berkomunikasi yang ada jadi lebih mudah dan cepat, tapi rupanya masih ada sisi humanisme yang hilang karena tak terjangkau dengan teknologi itu. Apakah memang teknologi komunikasi lewat SMS/email/mesenger yang ada harus mengikis perlahan-lahan cara berhubungan yang lebih personal melalui surat ataupun selembar kartu lebaran untuk si Eyang?