Antara Lapindo, lumpur dan macettt !
Dari hari ke hari berita luapan lumpur ini semakin mengenaskan karena tidak seimbangnya antara ekspansi luapan lumpur yang mencapai 5000m3/hari dan kecepatan penanganannya. Adapun penyebab terjadinya banjir lumpur ini sampai sekarang masih belum ada pernyataan resmi dari Lapindo yang bisa menerangkan dengan gamblang. Namun berikut ini adalah email dari salah satu staf bp migas yang terforward ke inbox saya berisi penjelasan dasar proses terjadinya musibah ini dari sisi ilmu eksplorasi bumi.
Hebohnya luapan lumpur panas yang menutup jalan tol ini sebenernya sudah mulai minggu lalu terjadi. Namun pada waktu itu satu jalur tol (arah Surabaya-Gempol) masih dibuka, hanya jalur Gempol-Sby yang ditutup. Kondisi itu tidak bertahan lama karena luapan lumpur yang terus berekspansi dari waktu ke waktu itu mengharuskan ditutupnya jalan tol tepatnya di km. 36-39 ruas Porong-Gempol. Saya sendiri sempat terjebak macet selama kurang lebih 2 jam di dalam jalan tol karena lumpur telah mulai masuk ke ruas jalan yang akan saya lalui. Di sela-sela panas dan sesaknya nafas karena bau gas dari lumpur tersebut, saya sempat mengambil rekaman foto dan motion saat-saat proses pembersihan lumpur dari tol. Pengen tau seperti apa situasinya ? klik aja videonya disini. Maaf kalo rekamannya harus ber-noise suara saya yang terkaget-kaget di mobil :) Dan amati juga gambar-gambar tersebut di bawah : terendamnya sebuah pabrik oleh lumpur, sawah yg tiba-tiba jadi rawa, jalan tol yg tak lagi mampu membendung laju lumpur dan letupan-letupan lumpur panas.
Rekaman ini diambil pada Sabtu, 10 Juni yang lalu. Untuk dicatat, di hari yang ke-21 setelah peristiwa ini kondisinya sudah lebih buruk dari gambar yang saya ambil.
Pintu tol gempol hanya berjarak sekitar 5 km dan bisa ditempuh kurang lebih 5-10 menit dari pabrik/kantor tempat saya bekerja. Otomatis updeting berita seputar kemacetan terus kami pantau. Seminggu belakangan puluhan staf kantor banyak yang mengeluh tentang kemacetan yang harus mereka lalui di pagi (berangkat) dan sore (pulang) kantor. Mungkin kami masih belum siap mental untuk menghadapi kemacetan seperti ini yang rasanya sudah menjadi hal biasa bagi temen-temen di Jakarta dan sekitarnya. Memang secara geografis kantor kami boleh dibilang kurang beruntung karena tidak banyak jalur alternatif yang bisa kami ambil untuk menjauhi jalur “bawah” yang sudah sesak tadi. Kalau ada jalur alternatif itupun memutar dan butuh waktu tambahan 1-1,5 jam lagi sampai di kantor. Gilaa!! kalo pesawat udah sampai jakarta/denpasar deh itu..*senyum pahit*. Ditambah lagi jam masuk di kantor saya yang mungkin termasuk tidak lazim, yaitu jam 7 pagi ! Bayangkan saja kalau temen kantor yang dari Surabaya harus menempuh jalur alternatif itu, berarti mereka harus berangkat kurang lebih jam 4.30 s/d 5 pagi (waktu tempuh normal sby-gempol=1 jam). Dengan demikian mereka juga harus re-scheduling jam bangun dan harus pula memperpendek waktu sarapan dan persiapan pagi hari lainnya. Jalur “bawah” tersebut merupakan jalan propinsi, sehingga kesibukan sudah mulai terasa sejak dini hari oleh kendaraan angkutan antar kota, bis, truk logistik/distribusi, dll. Meskipun sisi kemacetan ini hanya salah satu ekses yang ditimbulkan oleh peristiwa ini, tapi jika tidak segera ada titik terang penanganannya gak jelas deh berapa kerugian yang diakibatkan oleh terhambatnya mobilitas ini.
Hari sabtu yang lalu saya dan beberapa rekan menyempatkan diri untuk memberikan bantuan pada pengungsi di posko pengungsian yang bertempat di Pasar Porong. Meskipun nampak berusaha untuk menerima musibah ini dengan lapang dada, namun para pengungsi masih tidak bisa menyembunyikan kejengkelan terhadap lambatnya penanganan musibah ini. Saat kmaren kami lihat, siswa-siswa sekolah di salah satu madrasah yang ada di Desa Jatirejo (seluruh desa ini sudah terendam lumpur sejak senin, 12 Juni lalu) , terpaksa harus menjalani ujian sekolah di tempat pengungsian. Sekolah madrasah tersebut praktis juga terendam lumpur, berikut semua infrastrukturnya. Ditambah lagi saat lumpur masuk ke sekolah minggu lalu, anak didik di sekolah itu seharusnya menjalani ujian kenaikan kelas. Sedih saya mendengar penuturan salah satu gurunya "Kami masih belum tau bagaimana nasib sekolah ini saat PSB nanti (penerimaan siswa baru) dari Diknas hanya memperhatikan sekolah negeri saja", demikian ungkapan salah satu guru yang ngobrol dengan saya.
Namun begitu, saya masih bisa tersenyum melihat sebagian dari pengungsi yang notabene berasal dari satu desa/daerah tersebut nampak masih mempunyai semangat utk hidup, anak-anak yg msh bermain-main, ibu-ibu yang masih ngerumpi dan memasak bersama. Di beberapa kios pasar porong yang jadi "bilik" pengungsian juga masih saya lihat pesawat TV. "Biar ndak ketinggalan pertandingan sepakbola dunia bu"...demikian celetuk salah seorang dari mereka. Di satu sisi saya masih bersyukur bahwa mereka tidak harus menghadapi stres berat akibat kehilangan nyawa keluarga atau orang-orang tercinta secara mendadak seperti halnya korban gempa di Yogya. Sejauh yang diberitakan, musibah ini memang belum membawa korban jiwa, hanya saja ratusan warga menjadi terserang sesak nafas/ISPA(infeksi saluran pernafasan) akibat mengisap udara dari lumpur yang berbahaya bagi saluran pernafasan.
Suasana posko pengungsi banjir lumpur di pasar porong
(searah jarum jam) : kios2 toko menjadi rmh sementara pengungsi, ibu-ibu sibuk di dapur umum, ujian di sekolah darurat, senyum anak-anak masih menghiasi pengungsian.